Dari Universitas Ngurah Rai Bangun Perempuan Bali Tangguh

PEREMPUAN-Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Perasaan dan Asa Perempuan” pada Kamis (29/4) di kampus setempat dengan menerapkan protokol kesehatan.
Bagikan

DENPASAR-DiariBali

Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Perasaan dan Asa Perempuan” pada Kamis (29/4) di kampus setempat dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. FGD ini untuk memperingati tiga momen sekaligus; Hari Kartini, Hari Pendidikan Nasional dan Dies Natalis ke-42 UNR.

Rektor UNR Dr. Ni Putu Tirka Widanti, SS., MBA., MM., M.Hum., menjelaskan, kegiatan yang diinisiasi Pusat Studi Pancasila UNR tersebut merupakan bentuk kepedulian Civitas UNR dalam menghargai perjuangan RA Kartini. Tirka berpendapat, nilai-nilai luhur perjuangan RA Kartini akan selalu menjadi warisan yang tak ternilai harganya bagi seluruh perempuan Indonesia.

“Besar harapan saya, acara ini bisa menjadikan wadah kita para akademisi dan praktisi untuk saling berbagi ilmu, pengetahuan serta pengalaman dalam membangun perempuan Bali yang tangguh,” jelas rektor perempuan pertama di “Kampus Perjuangan” itu.

RA Kartini, masih menurut Tirka, adalah salah satu suri tauladan perempuan Bali khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Tentu perjuangan RA Kartini tidak lagi sama dengan perjuangan sebagian besar perempuan saat ini. Perkembangan di segala sektor mengarahkan para “Kartini” masa kini harus terus dapat beradaptasi dan berjuang disegala kondisi.

“Sebagai perempuan Bali, kita harus mampu membawa pesan perempuan tidak hanya pada ranah lokal, namun lebih besar dikalangan internasional, karena Bali tidak terlepas dari pariwisata dunia. Perempuan Bali akan sangat mudah dikenal diseluruh dunia, Untuk itu, perempuan Bali harus bisa menjaga nama baik diri sendiri, keluarga, lingkungan, wilayah serta bangsa dan negara dikancah internasional. Sebagai serorang Perempuan kita harus bisa “Menjadi Contoh” bukan “Memberikan Contoh” dimanapun kita berada,” imbuh dia.

lebih lanjut, kata Tirka, jika berbicara masalah perempuan, akan selalu muncul diskusi-diskusi yang menarik untuk dibahas, dari urusan dapur sampai urusan negara, perempuan mampu menjadi bagian dalam pembangunan bangsa.

FGD tersebut menghadirkan nara sumber Prof. Drs. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., P.hD., dan Sri Wulandari Adi Tanaya. Sedangkan Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., yang juga dosen UNR bertindak sebagai moderator.

Pada kesempatan itu, Darma Putra membeberkan materi tentang “Peran Perempuan dalam Pariwisata Bali”. Berdasarkan hasil kajiannya, perempuan Bali telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan dan kemajuan pariwisata Pulau Dewata, tapi apresiasi yang mereka terima tidak sebanding dengan perjuangannya.

Ia mencontohkan, dalam rentang waktu 2003-2007, Gubernur Bali memberikan penghargaan tokoh pariwisata kepada 35 orang. “Dari total jumlah itu hanya tiga orang perempuan yakni Ni Rempi, Ni Taman, Ny Reiko, perempuan berdarah Jepang yang menikah dengan lelaki Bali,” jelas Darma Putra.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ini, telah banyak melakukan penelitian terkait perempuan, salah satu karyanya teranyarnya adalah buku berjudul Segara Giri; Kontribusi Perempuan dalam pariwisata Bali.

Sementara Sri Wulandari Adi Tanaya, yang juga Pembina Yayasan Jagadhita Denpasar, lebih banyak menceritakan pengalamannya sebagai perempuan Jawa tulen. Selaku pemeluk Islam yang taat, orangtuanya mewanti-wanti agar Sri Wulandari menikah dengan pria satu kepercayaan.

Takdir berkata lain, Sri Wulandari malah kepincut dan menikah dengan pria beda suku yakni Nyoman Sura Adi Tanaya (alm). Sri Wulandari berubah dari perempuan Jawa observatif menjadi perempuan Bali. Ia harus menjalani kehidupan perempuan multikultur. Sepanjang hidup suaminya, Sri Wulandari mengambilalih penuh urusan rumah tangga.

“Saya fokus mengurus suami dan anak-anak. Sedangkan bapak fokus bekerja,” kenangnya. Itu memang pilihan hidupnya. Memang ia mengakui, awal-awal masa pernikahan dengan mantan Rektor UNR itu tidaklah mudah. Banyak hal yang harus dipelajarinya dalam suasana akulturasi budaya dua suku dan kepercayaan berbeda. RED