Tangis Sedu di Antara Alunan Angklung
DENPASAR-
Dengan balutan jaket hitam legam, IGB Arthanegara tampak tegar bin tabah menyambut setiap pelayat yang datang di Krematorium Santayana, Jalan Cekomaria, Peguyangan Kangin, Denpasar. Tak sedikit pun raut wajahnya yang mulai mengeriput menunjukkan kesedihan tanda kehilangan.
Pelayat yang datang hari itu, Jumat 21 Mei 2021 tidak terputus dari pagi hingga siang. Maklum, sebagai seorang tokoh pendidikan, Arthanegara memiliki kolega yang cukup luas. Sesekali, pria 77 tahun itu bersenda gurau dengan pelayat yang didominasi akademisi Universitas Mahadewa Indonesia.
Penerapan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah penularan Covid-19, menyebabkan Arthanegara menerima pelayat di luar pagar krematorium. Hal ini terpaksa dilakukan guna menghindari kerumunan. Peserta di dalam krematorium dibatasi tidak lebih dari 25 orang. Tubuh Poi Gwan Nio yang sedang dilalap si jago merah ditinggalkan untuk menerima simpati dari pelayat.
Seorang petugas kremasi lengkap dengan kartu pengenal yang menggelayut seperti kalung di lehernya tiba-tiba menghampirinya. “Tu Aji, durus ngeranjing (Tu Aji silakan masuk),” kata petugas itu. Rupanya, Poi Gwan Nio telah menjadi abu dan siap untuk di-“reka”. “Ngereka” sendiri adalah menyusun kembali puing-puing tulang sesuai anatomi tubuh setelah prosesi pembakaran mayat selesai. Sebagai suami, Arthanegara wajib mendampingi, menyaksikan bahkan turut menyusun kembali puing tulang istri tercintanya.
Kaki renta Arthanegara mulai berjalan pelan masuk ke dalam area kremasi sesuai permintaan petugas itu. Setelah melewati pagar utama, langkah gontainya tiba-tiba terhenti persis di sebelah sekaa angklung yang asyik memainkan instrumen masing-masing. Namun, sekali lagi, tidak terpancar raut duka di wajahnya.
Kesempatan ini digunakan oleh sejumlah awak media untuk meminta statmen terkait ihwal kepergian perempuan yang sangat dia cintai itu. Perempuan yang telah melahirkan I Gusti Ayu Mas Sri Apsari dan I Gusti Bagus Dharmaputra, buah cinta mereka.
“Istri saya kena penyakit jantung, menjalar ke ginjal, lalu asam lambung. Komplikasi lah istilahnya,” kata Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali ini.
Pihak keluarga, kata Arthanegara, telah melakukan upaya pertolongan terbaik untuk perempuan yang telah berganti nama menjadi Nyoman Meilly Yumaningsih tersebut.
Istri yang mendapinginya dalam suka dan duka selama 54 tahun itu menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit swasta di Kota Denpasar, pada 18 Mei 2021. Peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidup Arthagera itu berlangsung begitu cepat. “Tuhan lebih menyayangi istri saya,” katanya.
Di tengah suasana duka itu, Arthanegara masih sempat menceritakan sejarah pertemuannya dengan Meilly, gadis cantik keturunan Tionghoa yang bermukin di Payangan, Gianyar.
Dekade 1960-an, Arthanegara muda adalah sosok mahasiswa asal Bali yang berprestasi. Bayangkan, tahun itu, ia sudah bisa menembus beasiswa ke negeri Tirai Bambu, China.
Di negara dengan penduduk terpadat di dunia itu, Arthanegara menimba ilmu selama bertahun-tahun. Setelah kembali ke Bali, ia memikul tugas yang cukup penting sebagai sumber informasi tentang China bagi generasi muda Bali. Seandainya tahun itu sudah ada “Mbah Google”, tentu ia kehilangan kesempatan.
Arthanegara muda, tepatnya berusia 22 tahun saat itu mulai keliling Bali memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat di China. Hingga suatu ketika, ia menyampaikan “ceramah” di Payangan, Gianyar.
Akulturasi kebudayaan China dengan Bali diperkirakan telah terjalin sejak 2.200 tahun silam. Sehingga ceramah harus dikemas dalam pentas seni agar lebih menarik minat khayalak. Karenanya, Arthanegara berinisiatif membentuk Drama Sampik Ing Tai.
Suatu sore, menjelang pementasan tiba, ia memanfaatkan waktu mampir ke rumah-rumah warga keturunan Tionghoa di Payangan. “Saya mampir ke sebuah rumah, akhirnya ketemu dengan Meilly, gadis yang sangat cantik luar dalam. Saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama,” kenangnya.
Belum habis bercerita, air mata mengucur dari mata sembab Arthanegara. Tangis sedu mulai pecah sambil sesegukan diiringi alunan gamelan angklung di Krematorium Santayana.
Rupanya, ketegaran yang dipamerkan Arthanegra adalah ke-terpura-puraan. Ia menutupi hatinya yang hancur lebur dengan senda gurau. Ia tak mau memperhatikan kesedihan di depan khalayak.
Ia tak kuasa lagi menyusun puing-puing kenangan ketika merajut masa pacaran dengan istrinya yang kemudian disahkan dalam upcara pernikahan tahun 1976.
Gaya berpacaran waktu itu, tentu berbeda jauh dengan sekarang. Seingatnya, budaya surat-menyurat masih sangat kental. Sesekali, mereka berdua memanfaatkan malam minggu dengan menonton pentas kesenian hingga jalan-jalan di taman kota.
Pascakepergian sang isti, Arthanegara bertekad “move on” melanjutkan tugas-tugasnya sebagai pelayan masyarakat di bidang pendidikan. “Jika 54 tahun yang lalu saya memulai hidup baru sebagai seorang suami, sekarang saya memulai hidup baru sebagai seorang duda,” kata Arthanegara memungkasi. (TIM)