Ragawi Saraswati yang Terlupakan
“Selama ini umat hindu mengenal hari raya Saraswati sebatas manfaat Saraswati itu sendiri. Namun, sesungguhnya Saraswati itu dalam konteks Monodualistis terdapat dua makna yaitu physical dan psikis”.
DENPASAR-DiariBali
Hari raya Saraswati adalah hari yang penting bagi umat Hindu yang jatuh setiap 210 hari tepatnya Saniscara Umanis Wuku Watugunung, khususnya bagi penggelut dunia pendidikan karena umat Hindu mempercayai hari Saraswati adalah turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia untuk kemakmuran, kemajuan dan meningkatkan keberadaan umat manusia.
Budayawan asal Petilan Kesiman, Danpasar I Gede Anom Ranuara memaparkan bahwa agama Hindu mengajarkan satu konsep yang sudah mendasar yaitu monodualistis. Selama ini umat hindu mengenal saraswati baik dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi yang dikenalkan disekolah-sekolah hanya Saraswati sebatasan roh atau purusa yang lebih dikenal manfaat Saraswati itu sendiri.
Sedangkan fisik Saraswati itu sampai sekarang belum diketahui secara mendalam oleh masyarakat khususnya kalangan pelajar. Melalui konsep monodualistis dalam kontek saraswati ada dua makna yaitu psycal dan psikisnya yaitu konsep purusa/predana antara roh dan badan kasarnya.
Berdasarkan celotehan para tetua, ketika masyarakat sedang asik berargumen, berdialog, bercakap-cakap, ditengah-tengah pembicaraan muncul suara cecek yang kerap dijawab masyarakat hindu Bali adalah “singgih Hyang Saraswati” yang menjadi dasar dalam celotehan itulah sebenarnya physical Saraswati yakni cekcek (cicak) yang terlupakan hingga saat kini.
“Kata cecek dalam kontek bahasa Indonesia adalah tanda titik. Ketika bermain dalam teorigrafis, kumpulan beberapa titik menjadi sebuah garis baik garis lurus maupun garis lengkung. Memulai apapun pastilah dimulai dari titik atau cecek inilah sebenarnya Saraswati,” jelasnya dengan menggenggam lontar Darma Pawayangan, Rabu (25/8/2021).
Berlebih memulai nyurat aksara Bali dalam lepihan rontal ada cecek yang dapat dianalogikan sebagai tetebek. Tetebek inilah titik, tetebek inilah cecek, tetebek inilah saraswati. Semakin terampil orang dalam metetebek (goresan) semakin haluslah saraswati dalam jiwa seseorang makanya hal tersebut dipercaya dengan sebutan “ Ida sampun malinggih ring sang hyang aji saraswati” bukan itu wanita cantik namun sebenarnya yang berupa lontar.
“Garis itu dibentuk melalui titik yang diimplementasi kedalam bentuk tetebekan yang lumbrah dikenal masyarakat dalam lontar yakni tebek nguda dan tebek wayah inilah psycal yang terlupakan dalam saraswati,”paparnya.
Lanjut Guru Anom begitu orang menyapanya, berdasarkan kiblat penulisan dalam kontek vocal cecek bersuara “ndang”. Dalam teoritis penulisan bersuang “ng” berdasarkan ritual pengider-ngider “ndang” identik dengan makna terang. Jadi kata terang dimaksud adalah sinar matahari istilah lain surya yang berada di timur sesuai pengider bhuwana sebagai lambang penerangan.
Bergerak dari hal tersebut tidak salah para tetua mengatakan kegeria nangkil (menghadap) ring ida surya, mengapa di geria dikatakan surya? karena digeria banyak menyimpan pustaka-pustaka lontar yang mampu memberikan penerangan.
Sejauh ini, dirinya selalu berpijak pada kutipan Ida Pedanda Made Sidemen (alm) sekaligus gurunya pentingnya aksara dan sastra dalam kontek kehidupan yang tersurat dalam karya sastranya berupa pupuh pangkur berbunyi :“Sang hyang sastra to buatang, Buatang sungsung tunasin kayuktin, Yan ring peteng maka suluh, Yan ring segara angen kapal, Yan ring daratan angon kreta lintang kukuh, Yan mati panuntunan atma,
Yan idup pangempun urip”.
Yang diartikan sebagai penerangan adalah sastra, kereta sebagai akomodasi didataran, jika menyebrangi samudra sastralah perahunya, jika ajal manusia akan kembali pada sangkan paran sastra yang akan mengantarkan terlebih lagi dalam menjalani kehidupan sastra yang akan memomongnya.
“Noro hana mitra angluwih aken wara guna maruhur, tidak ada sahabat yang lebih mulia dari pengetahuan itu,” kata dalang samirana tersebut.
Begitu pentingnya sastra itu maka dalam kehidupan dilambangkan dengan dewi yang cantik. “Makna sastra sangatlah besar, kalau sastra dipelajari tidak akan pernah habis karena didalamnya terkandung sumber keindahan, sumber inspirasi yang meliputi rantai, keropak, lontar, angsa semua tersebut dapat digambarkan sebagai roh saraswati.
Dulu tetua kita menulis dengan media lontar namun situasi sekarang di tengah badai pandemi melanda, guru wisesa mengeluarkan berupa surat edaran baik dari PHDI, MDA, Gubernur, Pemerintah Daerah untuk PPKM. Marilah kita introspeksi diri, dengan mentaati anjuran pemerintah baik lisan maupun tertulis salah satu wujud bhakti kita kepada Sang Hyang Aji Saraswati,” pungkas pembina Kota Denpasar yang melanglang buana hingga tingkat nasional dengan segudang prestasi diraihnya. (Get)