Menguak Misteri Pura Bukit Catu, Angantelu

Setelah mulai dikenal, sejumlah warga sekitar menghaturkan dua palinggih tambahan untuk melengkapi bangunan suci di Pura Bukit Catu.
Setelah mulai dikenal, sejumlah warga sekitar menghaturkan dua palinggih tambahan untuk melengkapi bangunan suci di Pura Bukit Catu.

“Pura Bukit Catu yang terletak di Banjar Bengkel, Antiga Kelod, Desa Adat Angantelu, Manggis, Karangasem, menyimpan segudang misteri. Berdasarkan petunjuk dan kesaksian berbagai sumber, pura pamaksan ini diyakini sebagai tempat rapat (paruman) Ida Betara, gudang senjata dan dijaga sosok Tualen. Beberapa warga sekitar mengaku pernah bertemu dengan tokoh bernama lain Semar dan Sabdo Palon tersebut”.

KARANGASEM-DiariBali

Angantelu adalah desa adat di wilayah kabupaten Karangasem bagian barat yang berbatasan dengan Kabupaten Klungkung. Angantelu tergolong desa adat yang cukup luas, hampir 13 km2, terdiri dari dua desa dinas; Antiga dan Antiga Kelod, serta 10 banjar adat. Dilansir Wikipedia, tahun 2016 saja, penduduk dua desa dinas yang beberapa tahun lalu dimekarkan ini hampir mencapai 17 ribu jiwa.

Keunikan lain, di “wawidangan” Desa Adat Angantelu berdiri ratusan pura, mulai dari Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, pemakasan serta pura keluarga atau dadia. Hal ini menandakan, karakteristik masyarakat Angantelu sangat majemuk ditilik dari sisi klan. Hampir seluruh klan ada di desa ini.

Dari sisi geografis, Angantelu dilengkapi segara dan gunung. Garis pantai membentang dari Banjar Yeh Malet hingga Labuhan. Sementara gugusan puluhan perbukitan membentang di wilayah banjar lainnya. Sebagain besar puncak bukit di Angantelu, berdiri bangunan suci sehingga semakin menambah jumlah pura yang ada.

Salah satu gugusan bukit yang menarik untuk ditelisik yakni di Wilayah Antiga Kelod. Empat bukit berjejer dari wilayah Banjar Bengkel hingga ke barat laut itu memiliki keunikan dari segi namanya, mulai dari Bukit Catu, Ceeng, Kolak dan Ngiyu. Nama-nama bukit itu berasal dari satuan ukuran berat benda.

Misalnya; acatu, aceeng, akolak, angiyu. Diyakini, leksikon atau kosakata tersebut digunakan pada zaman pra penjajahan, atau sebelum ditemukan timbangan modern. Para ahli menafsirkan, acatu sama dengan seperempat kilogram dan aceeng sama dengan satu kilogram.

Satu-satunya dari empat gugus bukit tersebut, hanya di puncak Bukit Catu yang berdiri sebuah pura. Namanya menyesuaikan dengan nama bukit, yakni Pura Bukit Catu. Untuk menuju pura ini, akses termudah bisa dilalui dari sebelah selatan SDN 4 Antiga Kelod di Banjar Bengkel. Akses jalan rabat beton cukup luas sepanjang 300 meter.

Kemudian, setibanya di kaki bukit, perjalanan dilanjutkan dengan jalan setapak. Bukit ini tidak terlalu tinggi, hanya 200 meter dari permukaan laut. Hanya saja, medan yang terjal serta menyusuri semak belukar membutuhkan tenaga ekstra. Perjalanan dari kaki hingga ke puncak bukit memakan waktu tak lebih dari 30 menit.

I Made Pargita, salah satu pangempon yang bermukim di kaki Bukit Catu ini menjelaskan, bangunan suci di Bukit Catu baru didirikan tahun 2006 lalu. Siapa sangka ihwal berdirinya bangunan suci hingga menjadi sebuah pura itu berawal dari mimpi anehnya sejak tahun 2000, saat ia masih merantau di Kota Denpasar sebagai seorang satpam.

Palinggih awal di Pura Bukit Catu yang didirikan tahun 2006 oleh Made Pargita setelah menerima bisikian lewat mimpi tahun 2000.
Palinggih awal di Pura Bukit Catu yang didirikan tahun 2006 oleh Made Pargita setelah menerima bisikian lewat mimpi tahun 2000.

“Saya bermimpi bertemu dengan sosok dewi. Ia berpesan agar saya bersedia mendirikan sebuah palinggih menghadap ke barat laut di sisi selatan puncak bukit,” kenang Pargita, saat mengantar awak DiariBali ke puncak bukit, Minggu (23/5/2021), siang.

Sebagai orang yang sedikit ilmiah, Pargita tak menghiraukan mimpi yang dianggapnya sekadar bunga tidur. Namun mimpinya terus bersambung hampir tiap minggu. Suatu saat, ia bermimpi lagi bertemu dengan seorang berpakaian putih. Orang itu, kata Pargita, menyuruhnya berkonsultasi ke sebuah puri sebelum mendirikan palinggih. “Saya diantar oleh orang itu ke puri yang sangat megah, dipenuhi emas, ternyata puri itu tempatnya di bukit ini,” kata dia.

Pargita mulai menganggap serius rangkaian mimpi anehnya meski butuh waktu enam tahun untuk benar-benar yakin. Rentang waktu enam tahun digunakan untuk berkonsultasi dengan sejumlah “orang pintar”. Sepanjang yang ia ketahui, di puncak bukit tanpa tuan itu, tidak pernah ada palinggih, melainkan hanya sebongkah batu ukuran sedang yang memang dikeramatkan sejak zaman dahulu.

Tahun 2006, Pargita mendirikan sebuah palinggih mirip gedong penugu karang sesuai petunjuk. Sejak saat itu, daya magis Bukit Catu bak magnet yang menarik frekuensi umat sedharma. Bukit ini mulai dikenal. Warga sekitar berlomba menghaturkan palinggih pelengkap berupa Surya dan Meru Tumpang Tiga. “Masih banyak yang ingin ngaturang palinggih, tapi kami batasi karena pertimbangan tempat. Rasa bakti umat bisa diimplementasikan dalam bentuk lain selain ngaturang palinggih,” jelas Pargita.

*Berstatus Pura Pemaksan

Beberapa tahun berselang, pura ini memiliki 30 pangempon. Meskipun semua pangempon berasal dari wilayah Angantelu, namun mereka berasal dari klen berbeda sehingga semakin menegaskan pura Bukit Catu bukan pura dadia, tetapi pemaksan atau pura milik umat Hindu secara umum. Piodalan dilaksanakan setahun sekali, saat Purnama Kapitu.

Batu sakral cikal-bakal berdirinya pura ini tetap dibiarkan pada posisi semula. Demikain pula tumpukan batu di pinggang bukit sebagai pintu masuk sengaja tidak diganti. Para pamedek wajib ngaturang canang serta menyatakan maksud dan tujuan datang ke sana. Pamedek boleh sembahyang sendiri tanpa tuntutan jero mangku setempat.

Pargita, yang dalam beberapa tahun terakhir memutuskan menetap di kampung halamannya itu tak henti-hentinya merasa heran akan kedatangan umat dari seluruh kabupaten kota se-Bali untuk bersembahyang. Pernah juga orang Jawa bermeditasi. Ini dibuktikan dari penemuan KTP yang tertinggal di tempat itu. “Entah dari mana meraka tahu tempat ini,” katanya heran.

Masyarakat yang meyakini kemagisan Pura Pemaksan Bukit Catu juga berasal dari berbagai latar profesi, mulai dari perwira polisi, mahasiswa, tokoh pendidikan dan penekun spiritual.

Pargita sering terlibat diskusi dengan penekun spritual atau yang memiliki kelebihan supranatural. Mereka punya pandangan beragam. Ada yang meyakini bahwa Pura Bukit Catu adalah tempat paruman (rapat) Ida Betara sebelum melaksanakan tugas masing-masing.

Pendapat lain meyakini, Bukit Catu adalah gudang senjata, khususnya peninggalan Kerajaan Maja Pahit namun masih disembunyikan alias tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Suatu saat, senjata-senjata tersebut akan ditampakkan oleh yang Kuasa.

Bongkahan batu ini lah cikal bakal dari Pura Bukit Catu. Sebelum berdiri palinggih permanen, sejak ratusan tahun lalu, warga sekitar menghaturkan canang/banten di batu ini. Pernah terjadi kebakaran, namun, kain yang menyelimuti batu ini tidak terbakar.
Bongkahan batu ini lah cikal bakal dari Pura Bukit Catu. Sebelum berdiri palinggih permanen, sejak ratusan tahun lalu, warga sekitar menghaturkan canang/banten di batu ini. Pernah terjadi kebakaran, namun, kain yang menyelimuti batu ini tidak terbakar.

“Itu berbagai pendapat orang pintar. Benar atau tidak saya tidak berani bilang apa, karena ini soal kepercayaan. Tapi waktu ini pernah ada orang dari Klungkung memohon besi kuning, akhirnya diberikan oleh Ida yang malinggih di sini,” kata Pargita, sembari mengatakan beberapa orang juga berhasil sembuh dari sakitnya usai nangkil ke Pura Bukit Catu.

Kesaksian yang paling sering didengar adalah penampakan sosok Tualen di sekitar pura. Kesaksian ini datang dari banyak orang yang tak sengaja melintas atau saat menyabit rumput. Bahkan ia sendiri pernah melihat “kamen”-nya saja. “Saya pas mebanten trus lihat kamen di bagian bokongnya. Saja gemetar luar biasa,” ungkapnya.

Dihimpun dari berbagai kesaksian warga sekitar, sosok Tualen memiliki ciri fisik perut buncit, kulit gelap, berlanjang dada dan hanya menggunakan kamen atau sarung yang ujungnya dilipat kebelakang (kancut).

“Beliau tidak menakut-nakuti. Beliau hanya memberikan cihna sebagai penjaga tempat ini. Saya yakin beliau baik,” kata Pargita.

Bagi pencinta petualangan, di Bukit Ceeng yang letaknya bersebelahan dengan Bukit Catu juga cocok untuk camping dan spot selfi yang keren. Tempat ini menawarkan sensasi kesejukan dan view pantai yang menyejukkan mata. (GTS)