Membumikan Kembali Pancasila

gambar garuda pancasila
SEJARAH telah mencatat bahwa Pancasila muncul sebagai gagasan mulia perekat kebhinekaan, yang telah berhasi mengobarkan semangat semua komponen bangsa Indonesia pada masanya untuk meraih kemerdekaan.
Tujuh puluh enam tahun sejak kemunculannya hingga kini Pancasila mampu bertahan, meskipun eksistensinya kian terkikis. Sebuah jajak pendapat yang pernah dilakukan pada tahun 2019
menyuarakan sebanyak 38,7 persen responden menganggap bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jumlah ini bisa jadi semakin bertambah seiring meluasnya pengaruh globalisasi, persaingan antarbangsa, munculnya radikalisme, dan faktor penghambat lainnya. Menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila, khususnya bagi generasi milenial sebagai pemegang tongkat estafet perawat kebhinnekkaan dan demokrasi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera
diselesaikan.
Terlebih jika Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan, yang menyatakan bahwa pendidikan Pancasila tidak lagi dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib tetap diberlakukan. Hal ini tentu merupakan pukulan keras bagi pendidikan Pancasila di
tengah upaya pembentukan profil pelajar Pancasila. Dalam konteks ini upaya menggugah kesadaran akan arti penting nilai-nilai Pancasila menjadi kewajiban dan tanggung jawab kita bersama.
Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menyajikan tafsir segar nilai-nilai Pancasila yang relevan dengan kebutuhan dan situasi masyarakat saat ini. Dengan begitu Pancasila menjadi lebih dekat, mudah dipahami tetapi tidak dogmatis. Membaca kembali Pancasila sebenarnya tidaklah sulit, karena pada dasarnya kelima sila tersebut merupakan titik pertemuan dari kearifan lokal dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Pemikiran yang terbuka dan pemahaman atas kondisi masyarakat Indonesia yang pluralis dapat membantu kita memahami esensi nilai yang terkandung di dalamnya.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan sintesis dari nilai moral yang dapat menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa. Indonesia adalah bangsa majemuk. Keadaan ini berpeluang
memicu konflik sosial jika sikap toleran rendah, dan kepentingan politik serta fanatisme mendominasi.
Menurut Soekarno, prinsip Ketuhanan pada sila pertama berkaitan dengan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan
tiada egoisme-agama,”. Oleh karena itu, kata ketuhanan tidak boleh dipahami dari aspek agama tertentu saja dalam kemajemukan di Indonesia.
Selain bertindak atas nilai kebenaran, keadilan, serta kejujuran,
penerapan sila pertama juga harus diiringi dengan tindakan untuk menentang setiap sikap yang melenceng jauh dari Pancasila. Memperbaiki kesalahan, membasmi kecurangan, dan menentang segala
kebohongan adalah hal yang tak boleh abai dalam tindakan.
Kemanusiaan dalam sila kedua mendudukan manusia memiliki derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, manusia harus diperlakukan secara adil dan beradab. Manusia tidak boleh dibedakan karena
latar belakang budaya, sosial-ekonomi, agama, ras, suku, dan golongan. Para founding fathers kita
benar-benar memahami bahwa nilai kemanusiaan seseorang sesungguhnya terletak pada jiwanya, bukan raganya.
Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil sejatinya mempunyai maksud mengutamakan persatuan atau kerukunan bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki perbedaan agama, suku, bahasa, dan budaya, sehingga kemudian dapat disatukan melalui sila ini. Tujuannya jelas yaitu meski berbeda-beda tetapi tetap satu atau dapat disebut
dengan Bhineka Tunggal Ika.
Berlandaskan pada sila ketiga, sila keempat mencerminkan tata cara dan mekanisme dalam memperjuangkan usaha-usaha kerakyatan. Melalui Musayawarah Mufakat usaha untuk mencari hakekat kebenaran, keadilan, kesempurnaan tertinggi dan terbaik dalam proses pengambilan keputusan melalui suatu mekanisme yang damai dengan mengedepankan etika yang sesuai dengan kelaziman dan kepatutan.
Hal inilah yang menjadi perbedaan prinsip antara demokrasi Pancasila dan demokrasi liberal. Sila terakhir, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila-sila sebelumnya. Sila ini mempunyai makna bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapatkan perlakuan yang adil baik dalam segala bidang, seperti bidang hukum, politik, ekonomi, dan kebudayaan sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur dalam pelaksanaan kehidupan bernegara.Lebih dari sekadar sebagai fundamen politik, Pancasila merupakan fundamen moral yang memberi
tuntunan dalam menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Kegagalan dalam menanamkan nilai Pancasila sama artinya dengan kegagalan kita membentuk identitas diri sebagai bangsa Indonesia.
Babak baru untuk
membumikan kembali nilai Pancasila harus dimulai. Cita-cita mulia yang memerlukan tekad dan energi yang luar biasa besar.
Tantangan berat lainnya adalah mencipta elite politik dan lembaga pemerintahan yang Pancasilais. Agenda ini menjadi penting mengingat saat ini kita kekurangan figure yang dapat dijadikan contoh tauladan bagaimana konsep Pancasila diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ingat ikan itu busuk dari kepala.
Terlepas dari itu semua, setiap kali bangsa Indonesia kembali ke 1 Juni, hari Pancasila lahir, setiap kali itu pula kita diingatkan dikembalikan kepada titik kesadaran pada sebuah pertanyaan “Sudah seberapa
nyata Pancasila dalam setiap perilaku dan kehidupan kita?
Pada akhirnyaa di tengah kemungkinan
disintegrasi bangsa, perpecahan, dan disorientasi yang melanda kehidupan kebangsaan, kita tidak boleh putus asa dan lalai dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila karena nilai-nilai tersebut telah memberikan
bukti nyata bahwa nilai-nilai tersebut dapat mempersatukan bangsa Indonesia dan membawanya ke gerbang kemerdekaan.***