Galungan-Kuningan: Antara Introspeksi Diri vs Serimonial
RANGKAIAN perayaan hari raya Galungan dan Kuningan kembali kita lalui. Keutamaan kehadirannya tetap terasa istimewa, bahkan di tengah bencana yang datang silih berganti. Mulai dari meningkatnya
gelombang ketiga pandemi, gempa bumi, hingga banjir dan tanah longsor. Sesulit apapun kehidupan, umat Hindu tetap merindukan hari suci Galungan-Kuningan.
Kedatangannya selalu menjadi pengingat
umat untuk berkomitmen kepada dharma, dan percaya bahwa dharma akan selalu menang melawan adharma.
Perayaan di sejumlah daerah tampak lebih sederhana, tetapi tetap berlangsung khidmat tanpa
mengurangi makna upacara.
Spirit kemenangan mengemuka di tengah keprihatinan krama Bali. Kondisi
ini seolah mengingatkan kembali kepada kita bahwa upacara keagamaan memang tidak harus dilaksanakan secara berlebihan dan membebani. Upacara harus dilaksanakan dengan ikhlas dan didasari niat suci, tidak memaksa.
Saat ini krama Bali tengah berjuang menghadapi krisis kesehatan dan bayangan krisis ekonomi. Pada masa krisis ini sudah selayaknya perayaan hari raya Galungan dan Kuningan kita coba maknai lebih dalam. Jangan sampai komitmen terhadap dharma hanya berlangsung sekali saja.
Lebih dari sekadar ritual rutin, mengutip ungkapan Bhagavan Dwija, Galungan dan Kuningan harusnya menjadi momen “keuningan”. Momentum untuk “nguningang” mengadakan perjanjian kepada diri sendiri maupun kepada Ida Sang Hyang Widhi Waça untuk selalu memenangkan dharma dan mengalahkan adharma.
Bagaimana kemudian umat mampu mengintrospeksi diri (mulat sarira) dan mengendalikan dirinya dari
belenggu nafsu serta sifat-sifat negatif lainnya, sekaligus meredam keinginan dan ketergantungan pada benda-benda duniawi, sesuai dengan makna Galungan dan Kuningan yaitu kemerdekaan, kelepasan,
dan kesucian.
Dharma seharusnya tidak hanya ditunjukkan dengan taat melaksanakan upacara, tetapi pada dasarnya dapat terejawantah dalam kehidupan sehari-hari. Dharma saat berada di kantor, di kampus, di pasar, bahkan di jalan raya sekalipun.
Masih segar dalam ingatan aksi teorisme yang kembali terulang, tindak
kriminalitas yang terus terjadi, meningkatnya kasus kekerasan, korupsi, dan pelanggaran lainnya, seolah memunculkan pertanyaan tidakkah ada sesuatu yang keliru dalam cara kita beribadah? Sepertinya semua rangkaian upacara yang kita laksanakan selama ini tak meninggalkan bekas. Entah sudah berapa perayaan Galungan dan Kuningan yang sudah terlewati, meski demikian sepertinya tidak ada
peningkatan kebajikan dan kualitas diri.
Bhagavadgita setidaknya menunjukkan jalan bahwa setidaknya ada empat hal yang dapat dilakukan setiap orang untuk meningkatkan kebaikan dan kualitas diri. Abhyasa, selalu membiasakan diri untuk berbuat baik dimanapun. Tyaga atau vairagya, mengendalikan dan meninggalkanperbuatan-perbuatan
yang menjerumuskan hidup kita ke arah yang negatif. Santosa, selalu bersyukur terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa apapun bentuknya.
Sthitaprajna, menjalankan hidup dengan seimbang, lahir maupun batin. Tidak terlalu bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila mengalami
kemalangan atau kedukaan. Setidaknya Galungan dan Kuningan menjadi momentum bahwa kita harus kembali pada kesadaran penuh untuk menjalankan keempat hal tersebut.
Jika tidak sulit rasanya
membayangkan ibadah yang kita jalani dapat memberi bekas yang kuat. Dengan kata lain, Galungan dan Kuningan yang diperingati setiap 210 hari sekali hanya menjadi “rutinitas” belaka dan belum mampu meningkatkan kualitas kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahteraan jasmaniah) dan Moksa
(kebahagiaan abadi).
Agar pelaksanaan Galungan dan Kuningan lebih bermakna, mari kita dengan berani menelisik dan menyibukkan diri untuk bertransedensi dan bertransformasi menemukan kembali jati diri, yang mungkin
selama ini telah menyimpang jauh dari ajaran dharma.
Peningkatan kualitas diri harus segera dilakukan sebagai salah satu modal dasar kita untuk bangkit dan melangkah maju. Perlu dipahami bersama bahwa pascapandemi tidak terbayangkan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Modal dasar tersebut harus dikuatkan agar dapat melangkah bersama untuk mengembalikan Bali yang shanti dan jagadhita.