Dadia Arya Gajah Para Babakan Sukses Nangun Karya Agung Ngenteg Linggih

MANGGIS, diaribali.com – Pura dadia Pajenengan lan Penataran Arya Gajah Para, Banjar Babakan, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem sukses melaksanakan karya agung Ngenteg Linggih, Nubung Pedagingan, Wisuda Bumi, Mapadudusan Agung, Mapeselang lan Mapedanaan bertepatan puja wali pura setempat pada purnama sasih kedasa, Minggu (24/3) lalu.
Pura yang diempon 44 KK ini dengan semangat gotong royong, bahu membahu, berlandaskan sradha bhakti karya agung dapat berjalan lancar, serta dukungan dari pasemetonan maupun masyarakat setempat.
Bertindak sebagai Yajamana Karya, Pedanda Gede Karang Kerta Nustana dari Grya Sukayasa Tegal Manggis, Budakeling memaparkan, karya agung digelar berlandaskan swadarma bhakti atas dasar ketulusiklasan yang menggunakan pakem Sapta Swara Genta Pinaruh Pitu yang terdiri dari Wiswa Karma, Dewi Wastu, Dewi Luwih, Dewi Pradnyan, Dewi Karya, Sang Hyang Sedana, dan Sang Hyang Semara.
Disamping itu, dalam sastra termuat, ada empat yang dipakai pedoman dalam melaksanakan yadnya karya agung ini diantaranya; sastra kanda, jnana kanda, bhakti kanda, dan karma kanda. “Bhakti Kanda bermakna sebagai rasa subakti terhadap leluhur atau Ida Sang Hyang Widi dan pedanda siwa-budha memberikan penuntun, serta dukungan semua pihak untuk menyukseskan karya agung ini,” terangnya.
Pedanda juga mengucapkan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang turut menyukseskan karya ini, seperti tapini, walaka siwa-budha, Rsi, prawartaka karya, prajuru desa serta masyarakat setempat.
“Tak terlepas juga dukungan braya, para arya, jero pande, jero pasek, lan warga- wargi sareng sami lascarya galang apadang briuk sepanggul membantu karya ini,” ungkapnya.
Pedanda mempertegas, setiap yadnya atau upacara tetap berpedoman dengan sastra. Sebelumnya, yadnya umat Hindu di Bali di gelar disebut yadnya utuh dan belum mengenal banten dan jejaitan. Namun setelah di Bali dikembangkan dan dikemas dikonsepkan dari konsep sastra dikembangkan dengan seni dan budaya. Seni diartikan membuat senang, indah melambangkan keselamatan dan keharmonisan.
Yadnya besar, lanjutnya, digelar bukan untuk berlomba-berlomba, bukan juga menunjukkan kemewahan, dan menunjukkan kekuatan. Yadnya di Bali fleksibel dan sederhana. Yadnya yang terkecil pun bisa dilaksanakan, tergantung kemampuan umat.
Tujuan karya agung ini untuk memohon keselamatan alam beserta isinya agar tercipta keharmonisan, bukan untuk kepentingan pribadi, namun kepentingan seluruh umat, bahkan seluruh nusantara. Dikatakan untuk keselamatan untuk nusantara, karena dalam upacara karya agung ini memohon tirta pura Sad Kahyangan, Dhang Kahyangan sebagai sinar suci yang memberikan kemuliaan kepada semua umat Hindu Sedharma.
Pedanda mengumpamakan Yadnya dengan tingkatan nista, madya, dan utama bagaikan memelihara tumbuhan. Seperti yadnya yang kecil bagaikan memelihara tanaman kembang pacah yang hanya membutuhkan pemeliharaan selama tiga sampai enam bulan.
Sementara yadnya dengan tingkatan Yadnya madya bagaikan menanam pohon jeruk, dengan pemeliharaannya 10 tahun hingga 15 tahun. Sementara Yadnya yang utama bagaikan menanam pohon durian yang mampu bertahan hingga 80 tahun.
Semoga melalui karya agung, pedanda berharap dilimpahkan berkah yang melimpah, krama dadia dan masyarakat mendapatkan keselamatan serta terhindar dari segala penyakit. “Dumogi ngemangguhang sarining sedana, tan kirang sandang pangan, kicen kerahayuan selamet lan dirgayusa,” pungkas Pedanda.
Panitia Karya Jro Mangku I Gd Arya Wirantana mengungkapkan perencanaan karya agung ini direncanakan sejak setahun lalu. Dan mulai menyiapkan sarana upacara, upakara, dan perlengkapan sejak tiga bulan.
Wirantana merasa bahagia dengan sukses dan berjalan lancar karya agung ini dengan pengempon sedikit, tapi dengan rasa subakti dan semangat yang tinggi bisa terlaksana. Dirinya mengaku antusias dan semangat krama dadia, pasemetonan, krama Babakan, serta manggala dengan samangat tinggi sejak awal hingga akhir.
Rangkaian karya agung sebelum puncak karya dilakukan mendak betara tirta, mlaspas dan wisuda bumi, melasti, mapepada, puncak karya, makebat daun, nyenuk sidakarya dan terkahir dilakukan nyegara gunung sekaligus ngelebar betara tirta sekaligus penyineban.
Tak lupa, pihaknya juga mengucapkan terima kasih kepada Pedanda Siwa-Budha, Ida Rsi, walaka grya, tapini yang tiada henti memberikan tuntunan dari setiap langkah, karena dalam karya suci ini selalu dilandasi sastra sebagai pijakan.
“Tiang ngangganin dadia Arya Gajah Para Babakan meminta maaf jika ada kekurangan dan kesalahan selama prosesi upacara dari awal hingga akhir baik secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan krama dadia kami,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Pusat AGPAG, I Ketut Suadnyana, mengapresiasi prawartaka karya, krama dadia, pasemetonan maupun masyarakat yang turut menyukseskan karya agung ini. Dengan semangat kebersamaan, gotong royong, kekompakan dilandasi rasa subakti akhirnya yadnya ini berjalan lancar.
“Semangat Bhakti, Satya, Wirang, segilik seguluk, paras paros sarpana ya dan kita bersatu padu menyukseskan karya ini. Astungkara ida bathara lelangit ngicen pemargi dan wara nugraha (Tuhan memberikan jalan dan tuntunan dalam prosesi karya ini),” ungkapnya memungkasi. (Art).