Apa Kabar Gede Pasek Suardika?
KARANGASEM-DiariBali
Gede Pasek Suardika adalah salah satu putra asal Bali yang tergolong sukses di kancah politik nasional. Terakhir, ia menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) atau Senator periode 2014-2019.
Sejumlah rekor dipecahkannya, misalnya sebagai putra Bali pertama yang menjabat Ketua Komisi III DPR RI, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD RI, Ketua Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD), dan Ketua Panitia Perancang Undang-undang (PPPU).
Rekor yang tak kalah mentereng, pemilik sapaan karib GPS ini menduduki jabatan sebagai Sekertaris Jenderal Partai Hanura.
Setelah era GPS dan tiga Senator asal Bali berakhir, hasil pemilu 2019-2024 meloloskan incumbent Gusti Ngurah Arya Wedakarna, I Made Mangku Pastika, Anak Agung Gede Agung dan Bambang Santoso sebagai wakil Bali di DPD RI.
Namun, entah tidak hoki atau lobinya lemah, perebutan kursi pimpinan di DPD RI benar-benar membuat empat anggota DPD RI periode 2019-2024 dari dapil Bali tak bersinar.
Hasil pemilihan AKD dan sejumlah badan yang disahkan di paripurna di sidang paripurna ke-5 DPD RI, Bali tidak kebagian satupun kursi pimpinan.
Hasil ini menjadi catatan terburuk sepanjang sejarah perjalanan para senator dari dapil Bali, sejak 2004 silam. Padahal Bali sedang memperjuangkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Revisi UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang pembentukan Provinsi Bali untuk bisa masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
Tidak adanya kekuatan Bali dalam pimpinan badan maupun komite ini menjadikan kekuatan lobi dan jaringan senator ini sedikit diragukan. Itulah salah satu bukti bahwa seorang GPS bertaring di Senayan.
Nah, lantas apa kesibukannya setelah tidak menjadi pejabat negara?
Ditemui di Astika Dharma Ashram, Banjar/Desa Pempatan, Kacamatan Rendang, Karangasem, belum lama ini, GPS terlihat menikmati peran barunya sebagai ayah dari puluhan anak.
Asram atau pasraman yang dia bagun dengan keringat sendiri itu, kini sudah berdiri SMA bernafaskan Hindu. Puluhan anak-anak kurang mampu disekolahkan secara gratis, disediakan tempat tinggal termasuk kebutuhan konsumsinya.
Dua tahun berdiri, SMA yang didirikannya mulai terdengar ke pelosok Nusantara. Sehingga, peserta didiknya tidak lagi berasal dari kabupaten/kota se-Bali, namun peserta didik dari provinsi lain.
Di luar jam pelajaran formal, anak-anak diajarkan mendalami kebudayaan Hindu Bali. Mulai dari matembang, magambel, menari, musik, olahraga, berkebun dan kegiatan positif lainnya.
“Kalau saya lagi di Bali, pasti saya ke Ashram. Ini adalah hiburan saya,” kata GPS. Ia mengaku tidak peduli terhadap tuduhan sejumlah pihak yang “menuduh” di pasramannya mengajarkan aliran sampradaya tertentu. “Siapa pun yang menuduh, silakan datang ke sini,” imbaunya.
GPS berpendapat, investasi terbaik adalah investasi karma atau perbuatan. Sesuai pengalamannya bergaul dengan berbagai kelas sosial, mulai orang super kaya raya hingga super miskin.
“Hidup ini jangan bawa selalu bawa kalkulator. Tugas manusia hanya bekerja. Dan rejeki urusan Tuhan,” kata dia. Menurutnya, jika rajin membantu orang lain sesuai kemampuan, maka segala urusan akan dimudahkan.
Ucapan GPS terbilang masuk akal. Jika di-kalkulator-kan, entah berapa juta kocek yang harus dirogoh dari kantongnya untuk membiayai makan dan minum serta kebutuhan anak-anak pasraman yang jumlahnya di atas 50 orang.
Untuk kebutuhan beras saja mendekati satu ton per bulan. Meskipun, dia mengaku ada beberapa donatur yang peduli membantu anak-anak asuhnya.
Dia tidak berharap pamrih apa pun dari anak-anak yang diangkat derajatnya lewat pendidikan, kecuali berharap mereka kelak menjadi pribadi yang tangguh, jujur, dan mandiri seperti didikan orangtuanya. (TIM)