Antara Aku, Cinta, dan Covid-19

A.A. Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda

“DALAM beberapa minggu terakhir, kita terus mendengar kabar tentang sakit atau kematian akibat Covid19 pada orang yang kita kenal, bahkan sanak saudara, kasus positif terus meningkat. Segenap daya dan upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi lonjakan jumlah kasus.”

Masyarakat hidup di tengah kecemasan dan ketakutan. Pandemi yang berkepanjangan telah mengancam cara hidup kita, mata pencaharian kita, keluarga kita, masa depan kita, dan kehidupan kita sendiri.

Pemerintah dalam berbagai kesempatan mengimbau untuk mengambil tindakan pencegahan dengan tidak keluar rumah, tidak mendekati orang lain, memakai masker ketika keluar, sering mencuci tangan, tidak menyentuh wajah dan menggunakan disinfektan. Ini semua adalah tindakan pencegahan yang bijaksana karena kita tidak ingin mempertaruhkan kesehatan kita atau kesehatan populasi lain yang lebih rentan.

Tetapi orang bijak pernah mengatakan bahwa ada garis tipis antara “self-care dan selfabsorption” Ketika kita hidup dalam ketakutan, kita akan mengajukan pertanyaan “Bagaimana saya bisa keluar dari situasi ini?” Namun ketika kita hidup dalam cinta, kita akan mengajukan pertanyaan, “Bagaimana saya bisa menjadi “lentera” dalam situasi ini?”

Ketulusan cinta memberi energi yang tiada habis. Dalam banyak kasus, ketika kita menyatu dengan cinta banyak kebaikan yang muncul. Di tengah kesulitan warga akibat pandemi Covid-19, cinta telah memunculkan inisiatif untuk membantu kesulitan mereka yang terdampak.

Ada warga desa yang menyumbangkan bantuan untuk tetangga yang menjalani isolasi mandiri, ada pula inisiatif dari lembaga filantropi untuk menyalurkan bantuan obat dan oksigen. Di Desa Krincing, Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, misalnya, warga menyumbang barang kebutuhan pokok atau uang kepada tetangga yang menjalani isolasi mandiri akibat Covid-19.

Bantuan tersebut digabung dengan dana penanganan Covid19 pemerintah desa. Hal yang sama juga terjadi di Kota Cirebon, Jawa Barat warga bergotong royong membantu tetangga yang terdampak Covid-19. Bahkan ada artis yang rela menyulap mobil pribadinya menjadi ambulans darurat bagi masyarakat yang positif Covid-19.

Semua kebaikan tersebut muncul atas dasar cinta. Pandemi menjadi peluang besar bagi manusia untuk menunjukkan cinta yang dimilikinya. Cinta pemerintah kepada masyarakatnya, cinta orang tua terhadap anak-anaknya, cinta pimpinan terhadap para staf dan bawahannya dan sebaliknya.

Melihat karakter manusia lewat pilihan-pilihan yang diambil. Ini menjadi puncak tumbuhnya kesadaran baru. Menjadi momentum untuk instrospeksi diri, selalu mengingat bahwa saling mencintai, saling menjaga, dan saling mengasihi sesama manusia merupakan sebuah keharusan.

Sebuah kajian yang dilakukan oleh Ilmuwan Francis Fukuyama menunjukkan setidaknya ada dua hal penting untuk sukses dalam menangani Covid-19. Pertama, apakah warga negara memercayai pemimpin mereka. Kedua, apakah pemimpin tersebut juga mampu memimpin negara dengan kompeten dan efektif.

Modal cinta yang dimiliki oleh pemimpin dan masyarakat sebenarnya bisa menguatkan kedua aspek tersebut. Cinta masyarakat kepada pemimpinnya akan melahirkan trust. Cinta yang dimiliki oleh pemimpin akan melahirkan kebijakan yang tidak hanya rasional tapi juga memiliki kelembutan di sisi lain. Mengutip dari video yang viral saat ini di media sosial, “Ketegasab tanpa kasih sayang hanya akan menghasilkan kebuntuan”.

Tren kasus belum menunjukkan arah penurunan. Hal ini tentu tidak bisa diatasi hanya segelintir orang. Orang bijak pernah berkata, seberat masalah apapun yang kita hadapi, hendaknya kita tidak pernah kehilangan cinta. Situasi bisa saja membuat kita begitu tertekan, namun kita hendaknya tidak pernah mengorbankan cinta yang kita miliki.

Seringkali kita lebih banyak mengorbankan perasaan hanya demi logika, dan di kesempatan yang lain, kita bersikap masa bodoh dengan segala jenis silogisme. Namun ketika aku (logika) dan cinta (hati) menyatu akan banyak hal positif yang terjadi, hal ini yang saya yakini. Atas dasar cinta cobalah tumbuhkan empati dan buang jauh-jauh tuna-empati sebelum keadaan memburuk.

Perjuangan menghadapi virus korona tampaknya akan berlangsung panjang. Sikap abai terhadap protokol, abai akan keberadaan Covid-19, abai terhadap lingkungan sekitar hanya akan memperparah kondisi yang ada saat ini. Korban bukan hanya mereka yang meninggal akibat Covid-19, melainkan juga mereka yang terdampak secara ekonomi.

Makin banyak warga kehilangan pendapatan akibat kebijakan pembatasan jarak sosial dan fisik. Lebih banyak lagi warga yang bekerja di sektor informal, seperti tukang ojek, sopir taksi, pedagang kaki lima, buruh tani, dan tukang parkir. Mereka hidup dari pendapatan harian yang hilang atau amat merosot saat pemerintah menerapkan aneka kebijakan guna menghadapi Covid-19.

Menumbuhkan dan memperkuat rasa empati memang tidak bisa dilakukan secara instan. Mulailah dengan lebih memperhatikan keluarga, kerabat, dan teman dekat kita. Sudahkah keluarga kita hidup dengan sehat?, sudahkah kita mulai membatasi kegiatan di ruang publik?, sudahkah protokol kesehatan dijalankan dengan ketat? sudahkah kita bertanya kabar rekan kita hari ini?

Ajukanlah pertanyaanpertanyaan sederhana ini ketika kita berinteraksi dengan orang-orang yang kita cintai. Jangan abai hingga akhirnya yang kita bahayakan atau menjadi korban justru orang yang paling kita cintai. Perilaku kitalah yang pada akhirnya menentukan arah jalannya pendemi.(Tum)